
Dalam kesempatan pembukaan Rapim TNI-Polri di Mabes Polri, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo sempat berbicara mengenai UU ITE yang dinilai sering menjadi alat kriminalisasi. Salah satunya disinyalir dengan banyak kasus pelaporan yang dilayangkan oleh orang lain melainkan bukan oleh korban. Pemrosesan perkara pidana pada dasarnya digantungkan pada jenis deliknya, yaitu delik aduan atau delik biasa.
Dikutip dari hukumonline.com, delik biasa perkara dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). Sehingga, walaupun korban telah mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang, penyidik tetap berkewajiban untuk memproses perkara tersebut.
Berbeda dengan delik biasa, delik aduan artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II, dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian.
Ada dua poin utama yang disoroti dari pernyataan Listyo Sigit Prabowo. Pertama, dalam menangani perkara, penyidik akan dibuatkan petunjuk untuk dijadikan pegangan. Hal ini bertujuan agar tidak ada lagi kasus asal tangkap tahan. “Tindak lanjut arahan Presiden khususnya pasal-pasal karet yang di UU ITE, tolong dibuatkan semacam STR (surat telegram) petunjuk untuk kemudian bisa dijadikan pegangan para penyidik saat terima laporan,” kata Listyo, dikutip dari Youtube Divisi Humas Polri, Rabu (16/2).
Kedua, pelapor khususnya dalam kasus UU ITE yang menjadi delik aduan untuk melapor secara mandiri, tidak diwakilkan, supaya tidak terjadi asal lapor. Umumnya kasus yang berkembang sering kali berhubungan dengan kasus penghinaan yang merujuk pada pasal 27 ayat 3.
Kapolri mengatakan jika tidak ada potensi menimbulkan konflik horizontal, pelaku dalam kasus UU ITE tidak perlu ditahan. Penanganan awal perkara bisa dilakukan dengan cara proses mediasi. Kemudian diberikan edukasi.
“Tapi yang sifatnya pencemaran nama baik, hoaks, lalu hal yang masih bisa diberikan edukasi, laksanakan edukasi dengan baik,”pungkasnya.